Nama Preacher Moss sudah tidak asing lagi bagi publik AS umumnya dan komunitas Muslim khususnya, yang menggemari komedi. Moss adalah pendiri dari kelompok komedi “Allah Made Me Funny” dan membuatnya menjadi salah seorang komedian Muslim yang kerap membuat orang terpingkal-pingkal karena banyolan-banyolannya.
Salah satu banyolan Moss yang
terkenal adalah ketika ia bercerita, “Jika mungkin dan dibolehkan, saya
ingin mengganti nama saya dengan nama ‘Allahu Akbar’. Saya membayangkan
pasti akan hebat sekali ketika saya di bandara dan petugas bandara
menyebut nama saya yang tertera di paspor ‘Allahu Akbar’.” Banyolan yang
pasti membuat orang tersenyum. Tentu saja Moss tidak bermaksud
melakukan penghinaan dengan humornya itu.
Moss mendapatkan
inspirasi untuk humor-humornya dari pengalamannya sehari-sehari sebagai
seorang Muslim dari kalangan warga kulit hitam di AS, dimana ia bergaul
dengan banyak anak-anak jalanan di lingkungan tempat tinggalnya di
Washington D.C. Sebelum memeluk Islam, Moss adalah seorang penganut
Kristen dan dibesarkan dengan didikan Kristen oleh keluarganya.
Munculnya gerakan Black Panther dan Nation of Islam dengan
pemimpin-pemimpinnya, seperti Malcolm X, yang telah memberikan pengaruh
besar bagi dirinya sebagai anak muda kulit hitam di AS ketika itu dan
menjadi awal perkenalannya dengan Islam.
Moss masih mengingat dua
kenangan besar dalam hidupnya, yang telah mendorongnya untuk
mempelajari kekuatan dan keindahan Islam dari gerakan-gerakan hak asasi
di AS. Ia menyebutnya sebagai “Islam protes” dan “Islam regular” atau
Islam yang lahir dari Nation of Islam dan harga diri warga kulit hitam
dengan Islam yang dibawa oleh para imigran dan generasi Muslim pertama
di AS.
Kenangan pertama yang masih membekas di hati Moss adalah
ketika ia menyaksikan bagaimana teman sekelasnya begitu taat menjalankan
ibadahnya sebagai seorang Muslim, meski dalam kondisi dan situasi yang
paling sulit. Hal itu membuat Moss sangat kagum dan menghormati sahabat
Muslimnya itu.
Kenangan kedua yang menyentuh hati Moss adalah
sahabatnya yang ia kenal di pergaulan anak jalanan di Washington D.C.
Sahabat yang menurut Moss selalu dirundung masalah. Suatu hari ia
mendengar kabar sahabatnya itu meninggal dunia. Moss dan beberapa teman
datang ke rumah sahabatnya itu dan di kamar sahabatnya itu Moss melihat
banyak buku-buku tentang Islam.
“Saya melihat ia memiliki
sesuatu. Dia berada di jalan untuk menuju ke satu arah yang besar. Ia
tahu sesuatu yang saya tidak tahu. Dan saya ingin sekali tahu lebih
banyak tentang jalan itu,” tutur Moss tentang sahabatnya.
Masuk Islam
Ditanya kapan tepatnya ia resmi menjadi seorang Muslim, Moss akan diam
dan berusaha mengingat kembali masa-masa remajanya sampai ia menjadi
seorang mahasiswa jurusan jurnalistik dan film di Universitas Marquette,
Wisconsin.
Ia mengaku tidak ingat betul tanggal berapa ia
mengucapkan dua kalimat syahadat. Yang ia ingat, kejadiannya ketika ia
masih kuliah dan ia belajar Islam dari banyak sumber. Waktu itu ia
bekerja sebagai guru untuk anak-anak yang mengalami gangguan emosi dan
menjadi komedian. Perjalanannya hidup yang sebenarnya, kata Moss, ia
alami setelah ia mengucapkan syadahat dan menjadi seorang Muslim.
“Selama masa kuliah, masuk Islam adalah sebuah pertempuran. Apakah saya
akan mengikuti jalan ini atau saya tetap di jalan yang lama? Banyak
sekali konflik dalam diri saya,” kata Moss.
Moss terus
mempelajari Islam dan banyak bergaul dengan orang lain yang juga
mempelajari Islam. Ia akhirnya menemukan bahwa ajaran-ajaran dalam
Al-Quran dan tradisi-tradisi yang dilakukan Rasulullah Muhammad Saw
adalah benar dan mutlak. Ia bertemu dengan beragam orang saat
mempelajari Islam, orang yang sangat membantunya samapai orang yang
manipulatif.
“Ada kenyamanan dalam apa yang saya alami sebagai
seorang individu, tetapi juga ada pencerahan atas apa yang saya harus
lakukan untuk menumbuhkan budaya dan iman dalam diri saya. Rasanya
mustahil akan ada “Allah Made Me Funny” jika saya tidak tidak belajar
bagaimana untuk menumbuhkan budaya itu,” ujar Moss.
Ia
menegaskan, konsep “budaya keimanan” yang mendorongnya pada jalan Islam
yang dipilihnya. “Saya menjumpai banyak orang, sebagian dari mereka
sangat luas pengetahuannya, yang akan bisa bicara tentang tradisi Quran
dan soal jalan dan kehidupan para nabi, tapi akhirnya hanya menemui
jalan buntu karena mereka tidak cukup pandai untuk mengembangkan
kebudayaan,” papar Moss.
“Mereka cuma pandai bicara tentang
kebudayaan ratusan tahun silam, tapi tidak bisa menirunya di era modern
ini. Ada keseimbangan yang tidak wajar, dimana pengetahuan hanya menjadi
satu-satunya nilai dalam hal ini. Yang saya temukan adalah, kondisi itu
bertentangan dengan keseluruhan ide dari agama yang memprotes, yang
seharusnya menginspirasi kita untuk tumbuh, melahirkan dan mengembangkan
sebuah budaya dimana kita menjalankan keyakinan agama Islam kita dalam
kehidupan saat ini,” jelas Moss.
Ia mencontohkan, seorang Muslim
mengkritiknya saat ia manggung di Philadelphia. Muslim itu mengatakan
bahwa dalam Islam komedi itu haram, bid’ah dan Rasulullah Muhammad Saw
melarang banyolan. Tapi setelah mengkritiknya, lelaki itu langsung pergi
dengan mobilnya. Dan Moss yang keheranan cuma bisa bilang, “Anda
ngomong apa sih, komedi itu bid’ah? Anda baru saja kabur dengan cara
bid’ah.”
Muslim di Hollywood
Menjadi seorang Muslim
merupakan perjuangan bagi Moss, apalagi buat dirinya yang sangat
menggemari dunia komedi dan sudah menjadi bagian dari industri hiburan.
Moss berhenti mengajar, karena Hollywood ‘memanggilnya’. Moss memberikan
sebagian uang pensiun gurunya pada ibunya dan sebagian lagi ia gunakan
untuk mengejar impiannya di dunia komedi.
Karirnya sebagai
komedian menanjak seiring dengan reputasinya menulis skenario untuk
sejumlah aktor dan komedian di Hollywood. Tapi menjadi seorang Muslim di
Hollywood bukan hal yang mudah. Moss mengalami saat-saat penuh tekanan
karena ia tidak boleh membuat banyolan-banyolan tentang perempuan atau
topik-topilk yang akan dinilai sebagai anti-Muslim. Itulah sebabnya,
Moss akhirnya memutuskan meninggalkan Hollywood dan memilih jalur solo
karir.
Ia lalu membentuk group lawak dengan Muslim lainnya, yaitu
Azhar Usman dan Azeem, kemudian ditambah dengan masuknya Mo Amer.
Jadilah kelompok komedi “Allah Made Me Funny”. Moss mengatakan bahwa ia
ingin Muslim bisa mengekspresikan diri mereka.
“Setiap kali orang
mendengarkan kami dan mereka Muslim, mereka akan bilang ‘Dengar,
orang-orang ini punya nilai-nilai,” ujar Moss tentang harapannya pada
Muslim lainnya.
Meski namanya sudah populer, seperti juga
kelompok komedi lainnya, “Allah Made Me Funny” masih kesulitan jika
ingin manggung di negeri-negeri Muslim seperti Arab Saudi atau Dubai.
“Kami ingin menampilkan narasi yang baru dan berbeda tentang apa itu
Muslim. Dan hal itu berat buat negara-negara dimana agama Islam
berawal,” ujar Moss.
Moss memahami hal itu. Ia mencontohkan
pengalamannya sendiri, meski sudah lebih dari 20 tahun memeluk Islam,
Moss mengaku masih terus dalam proses belajar. Ia tidak sungkan mengakui
keimanannya di depan publik sebagai seorang Muslim, tanpa harus melepas
nilai-nilai dalam dirinya.
Moss mengakui bahwa ia belum menjadi
seorang Muslim yang baik. Tapi ia berharap bisa pensiun dari duna komedi
dan akan memusatkan kehidupannya pada keluarga dan agamanya. “Saya
ingin belajar bahasa Arab. Banyak sekali yang ingi saya baca. Tapi saya
akan selalu memprotes, dan protes saya sekarang ditujukan untuk kaum
Muslimin agar punya rasa memiliki terhadap agamnya,” tukas Moss.
(ln/iol)