Jumat, 12 September 2014

“Dengan Hijab Aku Kini lebih Bebas”


Elisabeth memutuskan masuk Islam pada tanggal 28 Januari 2012. Menurutnya ini adalah keputusan terbaik yang pernah dibuatnya. [baca berita sebelumnya: Pernah Merasakan Hidup Menyebalkan, Kini Ia Optimis Menjalani Bersama Islam]

Bahkan kata-kata tidak bisa menjelaskan betapa besarnya ketenangan dan kenyamanan yang dia rasakan di hari ketika ia mengucapkan Dua Kalimah Syahadat.

“Aku mengucapkan kalimat ‘Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Utusan-Nya’. Tubuhku serasa bergetar oleh sebuah kesadaran spiritual yang begitu besar.

Aku tenggelam dalam air mata kebahagiaan. Akhirnya aku menemukan apa yang sudah kurindukan selama bertahun-tahun. Aku merasa baru lagi dan tidak hilang harapan.

Pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu optimis. Masa lalu hanyalah kenangan. Sekarang keadaan sudah lebih baik”, jelasnya dengan senang.

Sekarang Elisabeth merasa layak untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Saat itu, Elisabeth mulai berteman dengan banyak Muslimah di komunitas. Dia mulai merasakan sebuah rasa saling memiliki dengan teman-teman satu komunitasnya. Kini banyak orang di luar sana yang mencintai dan menghormatinya, bahkan mereka yang baru mengenal Elisabeth. Dia merasa senang karena dia memiliki sebuah keluarga baru, keluarga besar Muslim.

Dia mulai merasakan rasa kasih sayang yang mereka tunjukkan terhadap dirinya. Kapanpun Elisabeth membutuhkan bantuan dalam memahami Islam atau jika ia ingin berbincang-bincang, selalu ada seorang Muslim untuknya dan mereka bersedia membantu menumbuhkan semangatnya.

“Betapa beruntungnya aku. Aku sangat bersyukur mendapatkan kesempatan seperi ini. Tentu saja, Allah Subhanahu Wata’ala-lah yang menemukanku dan membimbingku. Alhamdulillah. Alhamdulillah Allahu Akbar! Allah Maha Besar, aku tidak mempunyai keraguan tentang itu”, tegasnya bahagia seperti dikutip laman TDS.

Setelah kepindahannya kepada Islam, dia mulai merasakan tingginya spiritual yang ia rasakan. Ia merasa begitu terdorong, bersemangat dan senang dengan kehidupan baru yang sedang dijalaninya.

Hijab membuatnya dihargai

Saat itu di hari yang sama, Elisabeth mulai mengenakan hijab, dan merasa begitu bebas. Ia tidak memikirkan lagi tren dan gaya berbusana yang dianut sebelumnya. Kini ia merasa bebas, sangat bebas. Hijab telah merubah hidupnya. Itu membuatnya malu sekaligus mengingatkannya setiap hari bahwa ia memiliki tanggung jawab yang besar.

“Suatu hari aku melewati sebuah kerumunan anak muda. Aku melihat mereka beranjak kesamping membuat sebuah jalan kecil yang sempurna untuk membiarkanku lewat. Beberapa dari mereka berhenti mengobrol, dan lainnya sibuk menyembunyikan rokok mereka di belakang punggungnya. Aku berjalan menuju terminal bus dan seorang tua tersenyum kepadaku seraya membukakan pintu untukku. Orang-orang berpikir baik tentangku dan mereka menunjukkan rasa hormat yang tinggi”, tukasnya.

Sekarang ia memiliki reputasi yang baik setelah sekian lama bekerja keras dan belajar. Kini Elisabeth mulai berubah. Beberapa bulan kemudian, ia sudah bisa berdoa dalam bahasa Arab dan merasa sangat dekat dengan Allah Subhanahu Wata’ala.

Setelah itu, kepedihan dan kesedihan yang ia rasakan ketika masa kanak-kanak sirna. Hatinya lega. Dirinya hampir tidak percaya bisa melupakan semua tentang kesedihan dan kemarahannya. Kebencian yang ada dalam hatinya kini terhapus oleh rasa cinta dan pengampunan.

Dia hanya ingin meminta maaf kepada keluarganya dan ingin agar keluarganya tidak berlarut-larut dalam penderitaan. Ia ingat firman Allah dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum jika mereka tidak berusaha merubah kondisi mereka. Adalah hal yang sangat sulit ketika ia harus menjelaskan tentang keindahan Islam kepada keluarganya agar mereka mendapatkan yang terbaik. “Mereka harus tahu bagaimana aku merasakan kedamaian dalam Islam”, tegasnya. Ia merasa harus menjelaskan tentang agama yang indah ini, dan ini bukanlah suatu hal yang mudah. Ia memulainya dengan memberikan buku-buku Islam kepada ibu dan saudara-saudaranya. Tutur kata yang halus adalah caranya menunjukkan Islam kepadanya melalui tindakan dan perbuatan. Saat itu ibunya mulai lebih mencintainya dan sekarang ibunya dekat dengan Elisabeth karena merasa nyaman akan nasehat-nasehat Elisabeth.

Suatu hari adiknya memintanya untuk mengenakan hijab, dan dengan senang hati Elisabeth pun mengenakan hijab untuk adiknya itu. “Aku heran jika aku kini bisa menjadi seperti mu,” ujar adiknya.

Elisabeth pun menangis terharu. Kadang ia ingat ketika merasakan hal yang sama saat ia membandingkan dirinya dengan para Muslim Sejak Lahir. Ia merasa tidak akan bisa seperti mereka.

“Dengan pertolongan Allah kamu bisa menjadi apa pun yang kamu mau. Sandarkanlah hatimu dan pikiranmu kepada-Nya”, balas Elisabeth terhadap pernyataan adiknya. Adiknya menatap Elisabeth terharu seolah dia tidak pernah mendengarkan kata-kata seperti itu sebelumnya. Keadaan keluarganya sekarang lebih baik, dan Elisabeth pun terus melanjutkan dakwah terhadap mereka. Sedikit demi sedikit, dia mulai merasakan perubahan dalam kehidupan mereka. Mereka selalu tertarik dan penasaran tentang Islam, Dia berharap keluarganya bisa memeluk Islam dengan sepenuhnya. “Doakanlah keluargaku agar mereka selalu berada dalam bimbingan-Nya. Aku tumbuh terus-menerus di dalam Islam, dan setiap hari keimananku semakin kuat, Insya Allah,” harapnya. Kadang ia bangkit kadang ia jatuh, tapi ia menyadari bahwa hal itu adalah bagian dari keyakinan. Yang terpenting baginya adalah tidak mudah menyerah dan selalu mencobanya.

“Aku berharap semua mualaf yang membaca kisah ini akan menemukan ketenteraman dan harapan. Kita tidak pernah sendiri. Allah selalu bersama kita. Bahkan di tempat tergelap pun, bisa saja muncul orang beriman dan bijaksana. Kita semua mempunyai kesempatan untuk sukses. Tidaklah penting tentang siapa diri kita atau dari mana asal kita, karena dengan pertolongan-Nya kita bisa sukses. Mungkin ini akan lebih sulit bagi seorang mualaf dibandingkan dengan Muslim Sejak Lahir yang mempunyai keberuntungan tertentu. Semakin besar usahanya, semakin besar pula yang akan didapatkan. Itu sangatlah bergantung kepada seberapa besar atau seberapa jauh keinginan yang hendak kita capai. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Dengan izin-Nya, kita bisa saja berubah. Hidupku sudah berubah dan aku sangat bersyukur terhadap setiap hal yang Dia berikan kepadaku. Jika bukan karena jasa mereka, aku bukanlah aku yang sekarang ini. Alhamdulillah,” pesannya untuk yang lain.*/ Darda Muhammad Firdaus Sofyan

http://www.hidayatullah.com/feature/cermin/read/2014/09/12/29335/dengan-hijab-aku-kini-lebih-bebas.html



Pernah Merasakan Hidup Menyebalkan, Kini Ia Optimis Menjalani Bersama Islam

Sebut saja Elisabeth. Awalnya ia dikenal sebagai wanita yang banyak bicara. Meski selalu ceria dan suka bersenang-senang dan suka berteman dengan banyak orang. Karena itu banyak orang merasa nyaman berada di sekitarnya, begitupun sebaliknya. Di sisi lain, ia juga dikenal “menyebalkan”.

Elisabeth berasal dari keluarga yang berantakan, monoton, tidak ada aturan, dan tidak ada keharmonisan. Dia dan saudara-saudara perempuannya bisa melakukan segalanya dengan bebas dan seolah tidak ada yang peduli terhadapnya. “Aku biasa bepergian berminggu-minggu, bolos sekolah, dan bahkan tidak pulang ke rumah,” kenangnya sebelum mengenal Islam.

“Ketika aku pulang, tidak seorang pun menanyakan dari mana atau apa yang telah aku lakukan”. Dia bisa saja melakukan segala hal yang ia inginkan dan orangtuanya pun tidak pernah menghukum atau melarangnya sekalipun. Itu hanyalah kebingungan dan penderitaan yang dirasakannya selama bertahun-tahun.

Ayah Elisabeth adalah seorang alkoholik dan ibunya adalah pecandu obat-obatan.

“Aku dan saudara perempuanku menjalani kehidupan masing-masing, dan tidak tahu tentang hal itu sebelumnya. Kesedihan datang seolah-olah itu adalah hal biasa. Aku berpikir bahwa hidup ini benar-benar menyebalkan,” sesalnya.

Dia ingat ketika hampir setiap malam ayahnya selalu berteriak-teriak dan mnejadi kasar. Ibunya selalu menangis. Dia selalu ingat semua lubang-lubang yang ada di dinding dan setiap luka memar yang ada di muka ibunya karena perbuatan ayahnya.

“Bagaimana aku bisa melupakan hal seperti itu?” terangnya dengan sedih.

Ketiga adik kecilnya hanya bisa berdiam diri di tengah pertengkaran yang tak terhindarkan itu. Mereka hanya bisa menangis sebagai permintaan kepada ayahnya agar dia berhenti melukai ibu mereka. Kejadian seperti itu hanyalah trauma yang dipikul oleh anak-anak mereka. Elisabeth mulai memikirkan apa yang telah keluarganya tinggalkan. Yaitu kepatuhan kepada Tuhan.

“Seberapa besarkah perbedaan yang akan aku rasakan jika aku dibesarkan dengan agama?”, itulah pertanyaan yang selalu ada dalam pikirannya.

Suatu hari ketika ayahnya masih tidur. Ibunya bergegas mengemasi barangnya dan membawanya bersama saudara-saudara perempuannya pergi.

“Kami keluar rumah dengan terburu-buru dan berlari melewati jalanan dengan kaki-kaki telanjangku. Aku menggenggam tangan kakakku dengan kencang dan menanyakan tentang kemana kita akan pergi. Dia menjawab bahwa kami akan meninggalkan rumah. Aku sangat sedih dan bingung karena aku tidak mau meninggalkan ayah. Aku tidak tahu jika aku tidak akan pernah lagi bertemu dengannya.”

Perjalanannya meninggalkan rumah berakhir di tempat perlindungan wanita. Dan tidak lama setelah itu, Elisabeth menemui dan berbincang dengan ayahnya di balik jendela kaca tebal dinding penjara. Kehidupan terasa sangat sulit baginya. Dia beserta saudara-saudara perempuannya dan ibunya berpindah-pindah dari satu tempat perlindungan ke tempat perlindungan lainnya, sampai akhirnya mereka bergabung dengan sekelompok orang yang berpenghasilan rendah.

Dia baru menyadari bahwa di sana banyak orang-orang yang mempunyai masalah yang sama seperti masalah keluarganya. Banyak anak-anak yang hilang dan bingung karena orangtua mereka gagal dalam kehidupan bermasyarakat.

Orang-orang di sana hidup dalam dosa-dosa dan tanpa ada rasa malu sedikitpun. Adalah suatu hal yang legal untuk hidup dengan cara haram di sana. Dan Kanada, cenderung mentolerir cara hidup seperti itu.

Elisabeth menyadari bahwa hidupnya di Kanada akan lebih baik jika mengimplementasikan kepatuhan kepada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Mencari perhatian dan rasa kasih sayang dari figur seorang ayah di tempat yang salah membawanya kepada kepedihan dan kesalahan yang mendalam.

Karena itu, tangisannya setiap malam membuatnya jarang tidur. Namun dari situ pulalah datang rasa damai dari tetesan-tetesan air matanya. Dia menyadari betapa indahnya “tangisan jujur” yang datang dari hatinya yang sedang kacau itu.

“Haruskah kita meninggalkan masa lalu dan memulai hidup baru dengan cara berbeda? Bagaimana aku memulai kehidupan yang bahkan aku tidak pernah tahu tentangnya? Seberapa sulit perjalanannya? Setelah bertahun-tahun hidup dengan cara haram, rasanya tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan gaya hidup lamaku itu. Aku begitu sedih, tapi kesedihan itu adalah sebuah perasaan dari kebutuhan yang begitu mendalam, sebuah hasrat yang besar untuk berserah diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala”, kenangnya seperti dikutip laman TDS.

Sejak Kenal Islam hidupnya lebih baik

Dia mulai menyadari bahwa hanya Tuhan lah yang dapat menolongnya, dan tanpa Tuhan, hidupnya tidaklah berarti apa-apa. Perjalanannya begitu panjang untuk dijalani ketika ia belum benar-benar mengenal Tuhan. Dia bahkan tidak tahu dari mana dan bagaimana cara memulainya.

Suatu malam dia menangis dihadapan Allah dan berdo’a, “Ya Allah Yang Maha Pemberi dan Maha Pemurah, Aku telah salah dalam menjalani hidup, dan hanya Engkaulah yang dapat membantuku. Aku mohon ya Allah. Aku mohon, mohon, dan mohon tolonglah aku! Hilangkanlah kesusahan ini dalam hidupku dan tunjukkanlah kepadaku sesuatu yang harus aku lakukan.”

Semenjak mengenal Islam, hidupnya perlahan lebih baik dari waktu ke waktu.

“Aku tenggelam dalam air mata kebahagiaan. Akhirnya aku menemukan apa yang sudah kurindukan selama bertahun-tahun. Aku merasa baru lagi dan tidak hilang harapan,” ujarnya…..baca sambungannya “Dengan Hijab Aku Kini lebih Bebas”..*/Darda Muhammad Firdaus Sofyan

http://www.hidayatullah.com/feature/cermin/read/2014/09/12/29323/pernah-merasakan-hidup-menyebalkan-kini-ia-optimis-menjalani-bersama-islam.html