Topik tentang pernikahan beda agama di Indonesia saat ini kembali mencuat. Hal ini terjadi setelah adanya gugatan UU Pernikahan yang menuntut kepastian nasib pasangan beda agama yang dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia Anbar Jayadi bersama empat temannya yang juga alumni FH UI yaitu Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Lutfi Sahputra ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dia menafsirkan dari pasal 2 ayat 1 UU No. 1/1974 yang berisi
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu,” telah menyebabkan ketidakpastian hukum
bagi pasangan yang akan menikah beda agama di Indonesia
(Metrotvnews.com, 6/9/2014). Padahal, pasal tersebut bermakna bahwa
negara kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama
(meskipun pengantin laki-laki beragama Islam).
Islam tegas
memandang masalah ini. Seorang wanita Muslim haram menikah dengan
laki-laki non Muslim. Begitu pun sebaliknya, laki-laki Muslim juga tidak
dibolehkan menikah dengan wanita musyrik (seperti Hindu, Budah,
Konghucu dan lainnya). Dasar hukumnya tercantum di dalam Al Qur’an Surat
Al Baqarah ayat 221 disebutkan: “Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
Mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka. sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”
Jika seorang wanita Muslim menikah dengan laki-laki
non Muslim, status pernikahannya tidak sah dan dipandang sebuagai zina
seumur hidup karena gerbang awalnya (baca : aqad pernikahan) sudah jelas
tidak sah. Hal buruk lain yang mengikuti pernikahan beda agama adalah
rusaknya nasab (garis keturunan) sang anak dengan orangtuanya. Jika
ibunya Muslim sedangkan ayahnya non Muslim maka terputuslah hak
perwalian dan hak waris dari ayah tersebut kepada anaknya. Ini adalah
hal yang sangat mengkhawatirkan dan meresahkan. Pernikahan beda agama
dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagal tujuan
utama dilaksanakannya pernikahan. Bukankah kita tidak menginginkan umat
Muslim ini mengalami lost generation karena garis nasab yang
berantakan? Relakah generasi penerus kita akan melakukan zina seumur
hidupnya? Na’udzubillahi mindzalika.
Emma Lucya Fitrianty
Jl. Imam Bonjol 263 RT.04 RW.02 Desa Sukorejo Kec. Gurah Kab. Kediri Prov. Jawa Timur
Jl. Imam Bonjol 263 RT.04 RW.02 Desa Sukorejo Kec. Gurah Kab. Kediri Prov. Jawa Timur